Bapak & Ibu :) |
Selesai
sholat subuh, aku bergegas ke kamar untuk segera mengambil Handphone. Ini sudah menjadi agendaku di setiap hari minggu pagi.
Paling tidak dua minggu sekali aku menyempat-nyempatkan waktu untuk menelpon
keluarga di Salatiga, Ibu, Bapak dan juga saudara-saudaraku. Menanyakan kabar,
melepas rasa rindu dengan keluarga, dan saling mendoakan satu sama lain.
Menyenangkan sekaligus mengharukan. Itu yang kurasakan selama bercakap-cakap
dengan mereka.
Aku
mencari nama adikku dalam phonebook
kemudian meneleponnya. Karena pada pagi buta seperti ini, biasanya Ibu jarang
memegang HP. Karena itu aku memilih untuk menelepon adikku, kebetulan kami juga
menggunakan operator seluler yang sama, mujhid
muzhid, pikirku.
Tuut..tuut…tuut.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam,”
aku menjawab salam adikku.
“Bentar
Mas, Ibu lagi nderes,” kata Salisa,
adik perempuanku yang pertama. Tanpa aku minta, adikku langsung paham siapa
yang ingin aku ajak bicara pertama kali, Ibu.
Samar-samar
aku mendengar Salisa memanggil-manggil nama Ibu, “Ibu, Mas Arif nelpon.”
“Assalamualaikum.”
Ah..aku
tidak akan pernah lupa suara ini. Suara yang begitu lembut, begitu
menentramkan, seakan hati ini berdesir, bahagia. Dan akupun tersenyum.
Seperti
biasa, kami menanyakan keadaan satu sama lain. Ibu menanyakan tentang
pekerjaanku, tentang puasaku dll. Ibu juga bercerita mengenai rencana rumah kami
yang baru nantinya. Rumah kami saat ini ndilalah
rencananya terkena proyek pembangunan jalan tol Semarang-Solo. Mau tidak mau, nantinya
kami harus pindah dan kami berencana akan membangun rumah yang baru.
Alhamdulillah, sekarang Ibu sudah tidak segan-segan lagi membicarakan masalah
rumah ini kepadaku. Dulu, awal-awal ketika mendapat berita bahwa rumah kami
akan tergusur dan ada beberapa hal yang kurang mengenakkan mengenai perkara
tersebut, Ibu tidak mau membicarakannya denganku. Takut kalau aku sampai
kepikiran dan ikut larut dalam masalah ini. Akhirnya setelah beberapa kali aku memberikan
saran kepada Ibu, Ibu jadi lebih terbuka dalam menangani masalah ini. Bahkan
beberapa kali, Ibu meminta pendapatku mengenai rumah yang nantinya akan kami
bangun. Mendengarkan suara Ibu yang sekarang, aku menjadi merasa tenang.
Kemudian aku menceritakan kegiatanku selama bulan puasa. Oh ya, aku juga baru
memberi tahu Ibu kalau aku kembali lagi ke Pondok Jaya, tempat kos ku yang dulu.
Tempat kosku di Utan Kayu kurang mendukung untuk kegiatan Romadhon. Akses ke
masjid dan ke tempat makan juga kurang mendukung. Lagipula bapak kosnya juga
bukan seorang muslim. Dan disana kami tidak diperbolehkan untuk memasak, bahkan
komporpun tak ada. Akhirnya setelah musyawarah dengan teman se-kos, kami
memutuskan untuk kembali ke Pondok Jaya.
“Terserah
kamunya aja, yang penting krasan,” kata Ibu mendengar kepindahanku ke Pondok
Jaya.
Setelah
cukup lama berbincang-bincang dengan Ibu, sekarang giliran Bapak ingin
berbincang denganku. Sama halnya dengan Ibu, Bapak juga menanyakan kabar juga
pekerjaanku. Namun tema kami selanjutnya beralih ke motor. Maklum, saat ini
bapak berencana ingin membeli motor baru.
“Motor
yang lama mau dijual, terus uangnya buat beli motor yang baru,” kata Bapak
sambil tertawa. Mendengar tawa Bapak, aku terbayang wajah kuning langsat pria
berusia setengah abad ini.
“Ah,
kapan ya terakhir kali aku melihat wajah Bapak tertawa lepas seperti ini?”
tanyaku dalam hati sambil mengingat-ingat kejadian selama aku pulang ke rumah
satu setengah bulan yang lalu.
“Kapan
mau pulang?” tanya Bapak.
“Insya
Alloh sekitar tanggal 16 Agustus Pak, nunggu kabar dari teman-teman yang lain
dulu.”
Aku
juga menceritakan kepada Bapak, bahwa Lebaran tahun ini sepertinya aku hanya dapat
libur sekitar seminggu. Tiga hari sebelum lebaran sampai tiga hari setelah
lebaran. Wah, aku jadi merindukan masa-masa ketika masih sekolah. Di bulan
Romadhon kegiatan sekolah diisi dengan semacam pesantren kilat dan menjelang Hari
Raya pasti ada libur cukup lama. Tapi tak apalah. Untuk saat ini, inilah jalan
yang telah aku ambil. Dinikmati dan disyukuri saja. Alhamdulillah masih dapat
libur selama seminggu.
Karena
Bapak ingin kembali menderes
Al-Qurannya, Bapak kemudian memberikan HP yang beliau pegang kepada Ibu. Kali
ini Ibu lebih banyak memberikan nasihat. Yah, inilah saat yang aku
tunggu-tunggu. Wejangan dari Ibu. My mother is the best lah poko’e.
Di akhir
sesi nasihat, Ibu memberi wejangan
masalah menikah. Maklum, saat ini sudah banyak wanita yang mulai tertarik
terhadap putra beliau yang satu ini. Yah, semua Ibu pasti menginginkan
anak-anaknya hidup bahagia bukan? Termasuk dalam hal yang satu itu tentunya.
Ibu berpesan agar ketika aku memilih pasangan hidup, jangan asal pilih.
“Jangan
memilih perempuan karena cantiknya saja, pilihlah yang paham dan cocok
denganmu, mau diajak berbagi di saat susah maupun senang,” kata Ibu.
“Nggih Bu, insya Alloh istri saya nanti
sholihat dan cantik. Tenang aja Bu,” jawabku sambil tersenyum.
Terdengar
suara tawa Ibu ketika mendengar jawaban yang aku berikan. “Amiiin, Ibu tambah
seneng kalo kamu dapat yang seperti itu.”
Untuk
masalah yang satu ini, aku tidak mau gegabah dan tidak mau salah pilih. Aku selalu
meminta pertimbangan dari Ibu. Aku juga membenarkan nasihat yang dikatakan oleh
Ibu pagi itu. Kecantikan ataupun ketampanan pasangan hidup, tidaklah menjamin
seseorang akan memperoleh kebahagiaan di dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Dalam mencari pasangan, aku cenderung memilih seseorang yang cocok dan memiliki
pemikiran yang sejalan denganku, saling memahami satu sama lain.
Tak terasa
sudah lewat 40 menit aku berbicara dengan keluargaku. Paling tidak, rasa rindu
akan keluarga sudah cukup terobati. Sebelum kami menutup perbincangan pagi hari
ini, tak lupa Ibu mendoakan diriku. Meminta kepada Sang Maha Kuasa, agar
anaknya ini selalu di dalam rahmat dan anugerah-Nya. Inilah yang selalu
membuatku terenyuh, terharu, mendengarkan lirih doa-doa Ibu, dan meng-amininya.
Aku jadi terbayang wajah Ibu setiap kali aku berpamitan hendak pergi ke
Jakarta. Aku mencium tangan Ibu dan kulihat kulit tangan beliau sudah mulai
keriput. Yah, tangan seorang perempuan yang membesarkanku hingga sekarang.
Berkat belaian tangan dan kasih sayang beliaulah aku bisa menjadi seperti yang
sekarang. Saat akan pergi, Ibu menatapku lekat-lekat, tampak kekuatiran seorang
Ibu ketika hendak melepas anaknya. Tersirat dalam wajah Ibu seolah Ibu ingin berkata,
“Cepatlah pulang Nak, Ibu selalu menantimu.”
“Ibu
nggak usah cemas ya. Insya Alloh saya di sana baik-baik aja. Saya minta doa
restu dari Ibu dan Bapak ya,” ujarku untuk menghibur Ibu ketika hendak pergi ke
jakarta 4 tahun yang lalu.
Sebelum
berpamitan dan menutup telepon, aku pun juga tak lupa mendoakan Ibu, Bapak juga
adik-adikku. Meminta maaf kepada mereka atas kesalahan yang aku lakukan.
“Ibu,
Bapak, saya minta maaf kalo selama ini masih punya banyak salah, masih sering
ngrepotin. Ibu, Bapak pokoknya di rumah harus seneng, harus bahagia, jangan
banyak pikiran ya. Saya yang di Jakarta aja seneng, yang di rumah juga harus
seneng dong! Kalau ada apa-apa, saya dikasih tau Bu, jangan dipendem sendiri.
Oh ya, salam buat adik-adik ya Bu.”
“Jazakumullohu
khoiro Ibu, Bapak. Assalamualaikum.”
“Amiiin.
Waalaikumussalam.”
Tuut…tuut…tuut.
Posting Komentar