Lampu Pijar

gelap-cahaya-terang

  • Hei, selamat datang, sugeng rawuh, welcome di blog saya. Di sini tempat corat-coret saya. Itung-itung turut mengurangi pemakaian kertas dan menjaga lingkungan :). Let's go green and enjoy reading.

Minggu Pagi Ceria

Posted by Arif Sofi On Jumat, Agustus 03, 2012 0 comments

Bapak & Ibu :)

Selesai sholat subuh, aku bergegas ke kamar untuk segera mengambil Handphone. Ini sudah menjadi agendaku di setiap hari minggu pagi. Paling tidak dua minggu sekali aku menyempat-nyempatkan waktu untuk menelpon keluarga di Salatiga, Ibu, Bapak dan juga saudara-saudaraku. Menanyakan kabar, melepas rasa rindu dengan keluarga, dan saling mendoakan satu sama lain. Menyenangkan sekaligus mengharukan. Itu yang kurasakan selama bercakap-cakap dengan mereka.
Aku mencari nama adikku dalam phonebook kemudian meneleponnya. Karena pada pagi buta seperti ini, biasanya Ibu jarang memegang HP. Karena itu aku memilih untuk menelepon adikku, kebetulan kami juga menggunakan operator seluler yang sama, mujhid muzhid, pikirku.
Tuut..tuut…tuut.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam,” aku menjawab salam adikku.
“Bentar Mas, Ibu lagi nderes,” kata Salisa, adik perempuanku yang pertama. Tanpa aku minta, adikku langsung paham siapa yang ingin aku ajak bicara pertama kali, Ibu.
Samar-samar aku mendengar Salisa memanggil-manggil nama Ibu, “Ibu, Mas Arif nelpon.”
“Assalamualaikum.”
Ah..aku tidak akan pernah lupa suara ini. Suara yang begitu lembut, begitu menentramkan, seakan hati ini berdesir, bahagia. Dan akupun tersenyum.
“Waalaikumussalam,” jawabku.
Seperti biasa, kami menanyakan keadaan satu sama lain. Ibu menanyakan tentang pekerjaanku, tentang puasaku dll. Ibu juga bercerita mengenai rencana rumah kami yang baru nantinya. Rumah kami saat ini ndilalah rencananya terkena proyek pembangunan jalan tol Semarang-Solo. Mau tidak mau, nantinya kami harus pindah dan kami berencana akan membangun rumah yang baru. Alhamdulillah, sekarang Ibu sudah tidak segan-segan lagi membicarakan masalah rumah ini kepadaku. Dulu, awal-awal ketika mendapat berita bahwa rumah kami akan tergusur dan ada beberapa hal yang kurang mengenakkan mengenai perkara tersebut, Ibu tidak mau membicarakannya denganku. Takut kalau aku sampai kepikiran dan ikut larut dalam masalah ini. Akhirnya setelah beberapa kali aku memberikan saran kepada Ibu, Ibu jadi lebih terbuka dalam menangani masalah ini. Bahkan beberapa kali, Ibu meminta pendapatku mengenai rumah yang nantinya akan kami bangun. Mendengarkan suara Ibu yang sekarang, aku menjadi merasa tenang. Kemudian aku menceritakan kegiatanku selama bulan puasa. Oh ya, aku juga baru memberi tahu Ibu kalau aku kembali lagi ke Pondok Jaya, tempat kos ku yang dulu. Tempat kosku di Utan Kayu kurang mendukung untuk kegiatan Romadhon. Akses ke masjid dan ke tempat makan juga kurang mendukung. Lagipula bapak kosnya juga bukan seorang muslim. Dan disana kami tidak diperbolehkan untuk memasak, bahkan komporpun tak ada. Akhirnya setelah musyawarah dengan teman se-kos, kami memutuskan untuk kembali ke Pondok Jaya.
“Terserah kamunya aja, yang penting krasan,” kata Ibu mendengar kepindahanku ke Pondok Jaya.
Setelah cukup lama berbincang-bincang dengan Ibu, sekarang giliran Bapak ingin berbincang denganku. Sama halnya dengan Ibu, Bapak juga menanyakan kabar juga pekerjaanku. Namun tema kami selanjutnya beralih ke motor. Maklum, saat ini bapak berencana ingin membeli motor baru.
“Motor yang lama mau dijual, terus uangnya buat beli motor yang baru,” kata Bapak sambil tertawa. Mendengar tawa Bapak, aku terbayang wajah kuning langsat pria berusia setengah abad ini.
“Ah, kapan ya terakhir kali aku melihat wajah Bapak tertawa lepas seperti ini?” tanyaku dalam hati sambil mengingat-ingat kejadian selama aku pulang ke rumah satu setengah bulan yang lalu.
“Kapan mau pulang?” tanya Bapak.
“Insya Alloh sekitar tanggal 16 Agustus Pak, nunggu kabar dari teman-teman yang lain dulu.”
Aku juga menceritakan kepada Bapak, bahwa Lebaran tahun ini sepertinya aku hanya dapat libur sekitar seminggu. Tiga hari sebelum lebaran sampai tiga hari setelah lebaran. Wah, aku jadi merindukan masa-masa ketika masih sekolah. Di bulan Romadhon kegiatan sekolah diisi dengan semacam pesantren kilat dan menjelang Hari Raya pasti ada libur cukup lama. Tapi tak apalah. Untuk saat ini, inilah jalan yang telah aku ambil. Dinikmati dan disyukuri saja. Alhamdulillah masih dapat libur selama seminggu.
Karena Bapak ingin kembali menderes Al-Qurannya, Bapak kemudian memberikan HP yang beliau pegang kepada Ibu. Kali ini Ibu lebih banyak memberikan nasihat. Yah, inilah saat yang aku tunggu-tunggu. Wejangan dari Ibu. My mother is the best lah poko’e.
Di akhir sesi nasihat, Ibu memberi wejangan masalah menikah. Maklum, saat ini sudah banyak wanita yang mulai tertarik terhadap putra beliau yang satu ini. Yah, semua Ibu pasti menginginkan anak-anaknya hidup bahagia bukan? Termasuk dalam hal yang satu itu tentunya. Ibu berpesan agar ketika aku memilih pasangan hidup, jangan asal pilih.
“Jangan memilih perempuan karena cantiknya saja, pilihlah yang paham dan cocok denganmu, mau diajak berbagi di saat susah maupun senang,” kata Ibu.
Nggih Bu, insya Alloh istri saya nanti sholihat dan cantik. Tenang aja Bu,” jawabku sambil tersenyum.
Terdengar suara tawa Ibu ketika mendengar jawaban yang aku berikan. “Amiiin, Ibu tambah seneng kalo kamu dapat yang seperti itu.”
Untuk masalah yang satu ini, aku tidak mau gegabah dan tidak mau salah pilih. Aku selalu meminta pertimbangan dari Ibu. Aku juga membenarkan nasihat yang dikatakan oleh Ibu pagi itu. Kecantikan ataupun ketampanan pasangan hidup, tidaklah menjamin seseorang akan memperoleh kebahagiaan di dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Dalam mencari pasangan, aku cenderung memilih seseorang yang cocok dan memiliki pemikiran yang sejalan denganku, saling memahami satu sama lain.
Tak terasa sudah lewat 40 menit aku berbicara dengan keluargaku. Paling tidak, rasa rindu akan keluarga sudah cukup terobati. Sebelum kami menutup perbincangan pagi hari ini, tak lupa Ibu mendoakan diriku. Meminta kepada Sang Maha Kuasa, agar anaknya ini selalu di dalam rahmat dan anugerah-Nya. Inilah yang selalu membuatku terenyuh, terharu, mendengarkan lirih doa-doa Ibu, dan meng-amininya. Aku jadi terbayang wajah Ibu setiap kali aku berpamitan hendak pergi ke Jakarta. Aku mencium tangan Ibu dan kulihat kulit tangan beliau sudah mulai keriput. Yah, tangan seorang perempuan yang membesarkanku hingga sekarang. Berkat belaian tangan dan kasih sayang beliaulah aku bisa menjadi seperti yang sekarang. Saat akan pergi, Ibu menatapku lekat-lekat, tampak kekuatiran seorang Ibu ketika hendak melepas anaknya. Tersirat dalam wajah Ibu seolah Ibu ingin berkata, “Cepatlah pulang Nak, Ibu selalu menantimu.”
“Ibu nggak usah cemas ya. Insya Alloh saya di sana baik-baik aja. Saya minta doa restu dari Ibu dan Bapak ya,” ujarku untuk menghibur Ibu ketika hendak pergi ke jakarta 4 tahun yang lalu.
Sebelum berpamitan dan menutup telepon, aku pun juga tak lupa mendoakan Ibu, Bapak juga adik-adikku. Meminta maaf kepada mereka atas kesalahan yang aku lakukan.
“Ibu, Bapak, saya minta maaf kalo selama ini masih punya banyak salah, masih sering ngrepotin. Ibu, Bapak pokoknya di rumah harus seneng, harus bahagia, jangan banyak pikiran ya. Saya yang di Jakarta aja seneng, yang di rumah juga harus seneng dong! Kalau ada apa-apa, saya dikasih tau Bu, jangan dipendem sendiri. Oh ya, salam buat adik-adik ya Bu.”
“Jazakumullohu khoiro Ibu, Bapak. Assalamualaikum.”
“Amiiin. Waalaikumussalam.”
Tuut…tuut…tuut.

Categories: ,

Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( :-q =))