Hari Minggu pagi di
lapangan Gondokusuman kedua kesebelasan sudah siap untuk bertanding bola.
Kesebelasan PPM Kepuh bermain bersama Kesebelasan Gondokusuman. Di tribun
penonton, supporter kedua tim tak kalah serunya memberi dukungan pada tim
kesayangannya. Dari kejauhan aku melihat Raisa bersorak-sorak, dia tampak
anggun dengan kaos warna merah jambunya. Di sebelah kanannya ada seorang remaja
berjilbab putih dan mengenakan baju warna biru, Tiara. Dia mahasiswi semester 1
Jurusan Kedokteran UGM, belakangan aku mengetahui kalau dia juga pandai
menggambar. Di samping kiri Raisa ada Mbak Ana. Mbak Ana adalah mahasiswi
sekaligus mubalighot di PPM Kepuh, Mbak Ana mengambil Jurusan Pendidikan
Biologi di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dia juga sudah semester 7, sama
denganku.
Pertandingan kali ini
begitu seru, kedua tim sama-sama ingin mencetak gol sebanyak-banyaknya ke
gawang lawan. Wasit meniup peluit panjang, tanda permaian telah usai, dan kedudukan
kala itu imbang 2-2. Keringat mengucur deras membasahi tubuh kami, tapi kami
sangat menikmatinya. Pemain kedua kesebelasan saling berjabat tangan diikuti
riuh tepuk tangan dari kedua supporter.
Kami kemudian berkumpul
bersama sambil menikmati hidangan yang telah disiapkan oleh remaja putri.
Ngobrol ngalor ngidul, tertawa bersama, pokoknya intinya silaturrahim
lah.
Sekitar pukul 09.30 kami
membereskan perlengkapan kami, memungut sampah-sampah yang berserakan agar
tidak mengotori lapangan. Kemudian kami bersama-sama kembali ke kos
masing-masing. Lapangan yang tadinya ramai dengan hiruk pikuknya sekarang
benar-benar lenggang.
Setelah puas bermain
bola dan kebetulan hari ini kosong, siang ini aku memutuskan untuk istirahat di
kos.
“Ris, mumpung nggak ada kegiatan,
jalan-jalan keluar yuk,” ajak Hasan.
“Ah, males, capek habis maen bola. Aku
meh turu je,” aku menolak ajakan Hasan.
“Opo kuwi, gaweane tura-turu thok,”
kata Hasan sambil melemparkan bantal ke arahku.
“Yo ben.”
Sayup-sayup aku
mendengar suara adzan. Ku lirik jam dinding yang ada di kamarku. Wah sudah jam
3 sore. Akupun bangun dari tidur ku, mengambil sarung kemudian bergegas ke
masjid. Setelah selesai menunaikan sholat ashar aku kembali ke kos. Sepertinya
Hasan juga belum pulang dari jalan-jalannya. “Kemana bocah itu pergi ya?”
pikirku.
Aku kemudian berdiri,
menatap pemandangan kota Jogja dari jendela kamar. Suasana Jogja sore ini
begitu bersahabat. Aku segera mengambil kamera DSLR ku dan mengabadikan
suasana sore itu dari balik jendela kamarku. Tiba-tiba aku kepikiran untuk
pergi ke Malioboro dan mengambil beberapa gambar disana. Mumpung cerah.
Selain hobi bermain bola
aku juga senang dunia fotografis. Hal ini bermula ketika aku masih SD, ayah
memamerkan sebuah tustel canon warna hitam kebanggaannya.
“Dulu waktu kamu masih bayi, Ayah
sering mengambil fotomu dengan ini,” kata Ayah bangga.
Kemudian ayah memperlihatkan album foto yang
berisi foto-fotoku ketika masih bayi. Dari aku masih dalam gendongan ibu, mulai
bisa tengkurap, ketika aku mulai berlatih berjalan, ketika aku belajar
bersepeda, sampai ketika aku hendak masuk SD. Semuanya diabadikan dengan tustel
warna hitam tersebut. Akhirnya kegemaran ayah menular juga kepadaku. Sejak SMP
aku sudah mulai mengabadikan moment-moment yang menurutku penting, aku
lebih senang menyebutnya “sakral untuk diabadikan”. Tapi aku sendiri sebenarnya
merasa risih apabila difoto, aku lebih menikmati ketika menjadikan seseorang
atau sesuatu sebagai objek memotret ku. Ada kepuasan tersendiri ketika
“jepreet” dan gambar yang aku ambil terekam oleh lensa kamera.
Sesampainya di Malioboro
aku mempersiapkan kamera ku, mengambil beberapa gambar yang menurutku pas, baik
subjek maupun momentnya. Aku berjalan menyusuri jalan Malioboro yang
ramai dengan aktifitasnya sambil memotret sana-sini. Aku berniat ingin
berjalan-jalan sampai ke alun-alun kota. Ketika hampir sampai di Benteng Vredeburg,
aku kembali mengangkat kameraku, melihat-lihat sesuatu yang bisa ku jadikan
objek foto. Saat aku memfokuskan lensa kamera, aku melihat ada gadis berjilbab
putih dengan motif bunga sedang memberikan uang kepada seorang pengemis yang
sudah tua. “Jepret”. Akupun mengambil gambar ketika gadis itu memberikan
sedekah kepada si pengemis. Sepertinya aku kenal gadis tersebut. Aku berjalan
mendekati gadis berjilbab putih tersebut. Oh ternyata dia adalah Tiara.
“Tiara,” aku memanggil gadis
berjilbab putih tersebut.
“Eh Mas Faris, mau kemana Mas?”
“Cuma jalan-jalan aja, sekalian
foto-foto,” jawabku sambil mengangkat kamera DSLR yang ada di tanganku.
“Kalo Tiara mau kemana? Kok
sendirian aja?”
“Nggak sendirian kok Mas, tadi sih
kesini bareng sama Mbak Raisa, Mbak Ana, sama Mas Hasan juga. Tapi karena
keasyikan liatin barang-barang, aku malah ketinggalan rombongan Mas. Yaudah
akhirnya aku jalan-jalan sendiri,” jawab Tiara dengan wajah yang lugu. Aku pun
hanya tertawa mendengar penjelasannya.
“Tiara”
Tiba-tiba seseorang
memanggil Tiara. Ternyata itu adalah Raisa yang ditemani oleh Mbak Ana dan juga
Hasan.
“Huh, dicariin kemana-mana, eh
taunya malah asyik berduaan,” ujar Raisa sedikt kesal.
“Enggak kok Mbak, kebetulan aja kami
ketemu disini.”
“Katanya mau istirahat, kok malah
sampai sini?” tanya Hasan padaku.
“Istirahatnya kan udah tadi siang
San. Nggak tau nih tiba-tiba aja kepengen jalan-jalan, mumpung suasananya cerah
sekalian ngambil beberapa foto,” aku mencoba menjelaskan.
“Kami difoto juga boleh tuh,
itung-itung buat kenang-kenangan,” Mbak Ana menimpali.
“Iyaa, boleh juga idenya Mbak. Amsol
ya Mas fotoin kita-kita,” kata Raisa.
“Oh boleh, San sekalian kamu ikutan
sana?”
“Kamu juga ikutlah Ris, masa aku
cowok sendirian,” jawab Hasan.
“Aku kan yang ngambil foto San.
Lagian aku juga nggak bawa tripod.”
“Iya, Mas Faris juga ikutan foto
dong, minta tolong orang aja Mas buat fotoin kita,” kali ini Raisa yang
meminta.
Akhirnya akupun menuruti
keinginan mereka. Kami memutuskan untuk foto di depan Benteng Vredeburg. Aku meminta
tolong pada seorang pria yang kebetulan sedang duduk-duduk di bangku yang
terletak di halaman masuk Benteng Vredeburg. Aku berdiri di ujung paling kanan
dan di sebelah kiri ku ada Hasan. Sedangkan ketiga gadis tadi berada di sebelah
kiri kami. Raisa berada di tengah-tengah mereka, di sebelah kanan Raisa ada
Tiara, sedangkan Mbak Ana berada di ujung paling kiri. Wah seperti yang kulihat
sewaktu pertandingan bola tadi pikirku.
3..2..1…jepreet
“Satu kali lagi ya!” pria itu
mengangkat telunjuknya sebagai aba-aba.
“Siap! 3…2…1…jepreet.”
Puas dengan acara
foto-foto, aku akhirnya ikut bergabung dengan rombongan Hasan. Mereka
memutuskan untuk mencari tempat makan. Berhubung aku juga belum makan akhirnya
aku pun setuju dengan ajakan tersebut. Kami akhirnya memilih Spesial Sambal
yang terletak di dekat UNY. Sambil menunggu pesanan, kami banyak mengobrol satu
sama lain. Berdikusi mulai dari hal-hal yang sepele sampai hal-hal yang
penting. Ujung-ujungnya kami malah membicarakan masalah pergaulan laki-laki
perempuan, masalah jodoh, masalah cinta. Maklum kala itu kami masih remaja.
Apalagi yang lebih mengasyikkan selain membahas tentang cinta? Entah darimana
mulainya tiba-tiba Mbak Ana bertanya kepadaku.
“Ris, udah mau lulus, kapan kamu mau
menikah?”
“Eh, bukannya Mbak dulu ya, biasanya
cewek duluan kan. Aku nyantai aja Mbak, nunggu ada yang cocok,” jawabku
sekenanya.
“Uhuk, berarti sekarang belum ada
yang cocok ya Ris?” goda Hasan sambil sedikit melirik ke arah Raisa. Melihat
tingkahnya aku paham apa yang ingin Hasan katakan, “Raisa”.
“Lagian sekarang aku juga belum kerja.
Aku mau kerja dulu buat persiapan nikah juga,” jawabku tanpa menggubris
pertanyaan Hasan.
“Mas Faris pernah nggak suka sama
seseorang trus ngomong ke orangnya kalo Mas suka dia?” sekarang gantian Raisa
yang bertanya. Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaan Raisa.
“Kalo suka sama seseorang jelas
pernah lah, tapi kalo ngungkapin perasaan, jujur sampai sekarang aku belum
pernah sekalipun ngomong suka atau cinta pada orang yang ku taksir. Sekarang
gini aja deh, kalian sebagai cewek lebih suka cowok yang mana, cowok yang
bilang aku suka sama kamu atau cowok yang bilang aku mau melamarmu.”
“Ya jelas cowok yang bilang mau
melamar lah Mas. Tapi kan paling nggak kita tau satu sama lain dulu Mas,
istilahnya ta’aruf, kalo merasa udah cocok satu sama lain baru deh
menikah,” jawab Raisa.
“Tapi hati-hati lho Mbak, kadang
kita tadinya niatnya mau ta’arufan eh ujung-ujungnya yang ada malah
pelanggaran. Sering telpon-telponan, SMS-SMSan dll. Kalo cowok yang bilang suka
belum tentu dia nantinya melamar kita lho Mbak. Beda dengan cowok yang bilang
mau melamar, udah pasti dia punya rasa cinta sama kita Mbak. Nggak mungkin juga
kan dia melamar kita kalo nggak ada rasa cinta. Kita kan bisa istikhoroh
dulu Mbak sebelum menerima atau menolak lamaran tersebut. Sebenarnya nggak
perlu juga ta’arufan buat tau dia tuh cowok baik apa nggak Mbak.
Serahkan aja pada Alloh, Alloh pasti bakal memilihkan yang terbaik dan
terbarokah. Pilihan Alloh nggak pernah salah kok. Yang penting Mbak yakin aja,”
sahut Tiara panjang lebar.
“Benar juga ya. Pinter juga kamu
Tiara,” kata Raisa dan sekarang dia tersenyum.
“Boleh saja kita jatuh cinta dengan
seseorang. Tapi ingat, jangan sampai melewati batas. Bukankah islam telah
mengajarkan tentang cinta. Jangan sampai cinta kita kepada seseorang
mengalahkan cinta kita kepada Alloh, Sang Pemberi Cinta itu sendiri. Nggak usah
sedih, patah hati, galau dsb gara-gara masalah cinta. Cukup dinikmati
dan disyukuri aja,” Mbak Ana menambahi.
“Meja nomor 14 ya,” kata seorang pelayan
sambil meletakkan hidangan pesanan kami.
“Haaah,” aku menghela nafas panjang.
Aku terselamatkan oleh penjelasan Tiara, Mbak Ana, dan juga hidangan sore itu.
***
Posting Komentar