Lampu Pijar

gelap-cahaya-terang

  • Hei, selamat datang, sugeng rawuh, welcome di blog saya. Di sini tempat corat-coret saya. Itung-itung turut mengurangi pemakaian kertas dan menjaga lingkungan :). Let's go green and enjoy reading.

Anugrah Terindah [part 3]

Posted by Arif Sofi On Senin, Juli 02, 2012 0 comments


Hari Minggu pagi di lapangan Gondokusuman kedua kesebelasan sudah siap untuk bertanding bola. Kesebelasan PPM Kepuh bermain bersama Kesebelasan Gondokusuman. Di tribun penonton, supporter kedua tim tak kalah serunya memberi dukungan pada tim kesayangannya. Dari kejauhan aku melihat Raisa bersorak-sorak, dia tampak anggun dengan kaos warna merah jambunya. Di sebelah kanannya ada seorang remaja berjilbab putih dan mengenakan baju warna biru, Tiara. Dia mahasiswi semester 1 Jurusan Kedokteran UGM, belakangan aku mengetahui kalau dia juga pandai menggambar. Di samping kiri Raisa ada Mbak Ana. Mbak Ana adalah mahasiswi sekaligus mubalighot di PPM Kepuh, Mbak Ana mengambil Jurusan Pendidikan Biologi di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dia juga sudah semester 7, sama denganku.
Pertandingan kali ini begitu seru, kedua tim sama-sama ingin mencetak gol sebanyak-banyaknya ke gawang lawan. Wasit meniup peluit panjang, tanda permaian telah usai, dan kedudukan kala itu imbang 2-2. Keringat mengucur deras membasahi tubuh kami, tapi kami sangat menikmatinya. Pemain kedua kesebelasan saling berjabat tangan diikuti riuh tepuk tangan dari kedua supporter.
Kami kemudian berkumpul bersama sambil menikmati hidangan yang telah disiapkan oleh remaja putri. Ngobrol ngalor ngidul, tertawa bersama, pokoknya intinya silaturrahim lah.
Sekitar pukul 09.30 kami membereskan perlengkapan kami, memungut sampah-sampah yang berserakan agar tidak mengotori lapangan. Kemudian kami bersama-sama kembali ke kos masing-masing. Lapangan yang tadinya ramai dengan hiruk pikuknya sekarang benar-benar lenggang.
Setelah puas bermain bola dan kebetulan hari ini kosong, siang ini aku memutuskan untuk istirahat di kos.
“Ris, mumpung nggak ada kegiatan, jalan-jalan keluar yuk,” ajak Hasan.
“Ah, males, capek habis maen bola. Aku meh turu je,” aku menolak ajakan Hasan.
Opo kuwi, gaweane tura-turu thok,” kata Hasan sambil melemparkan bantal ke arahku.
Yo ben.”
Sayup-sayup aku mendengar suara adzan. Ku lirik jam dinding yang ada di kamarku. Wah sudah jam 3 sore. Akupun bangun dari tidur ku, mengambil sarung kemudian bergegas ke masjid. Setelah selesai menunaikan sholat ashar aku kembali ke kos. Sepertinya Hasan juga belum pulang dari jalan-jalannya. “Kemana bocah itu pergi ya?” pikirku.
Aku kemudian berdiri, menatap pemandangan kota Jogja dari jendela kamar. Suasana Jogja sore ini begitu bersahabat. Aku segera mengambil kamera DSLR ku dan mengabadikan suasana sore itu dari balik jendela kamarku. Tiba-tiba aku kepikiran untuk pergi ke Malioboro dan mengambil beberapa gambar disana. Mumpung cerah.
Selain hobi bermain bola aku juga senang dunia fotografis. Hal ini bermula ketika aku masih SD, ayah memamerkan sebuah tustel canon warna hitam kebanggaannya.
“Dulu waktu kamu masih bayi, Ayah sering mengambil fotomu dengan ini,” kata Ayah bangga.
 Kemudian ayah memperlihatkan album foto yang berisi foto-fotoku ketika masih bayi. Dari aku masih dalam gendongan ibu, mulai bisa tengkurap, ketika aku mulai berlatih berjalan, ketika aku belajar bersepeda, sampai ketika aku hendak masuk SD. Semuanya diabadikan dengan tustel warna hitam tersebut. Akhirnya kegemaran ayah menular juga kepadaku. Sejak SMP aku sudah mulai mengabadikan moment-moment yang menurutku penting, aku lebih senang menyebutnya “sakral untuk diabadikan”. Tapi aku sendiri sebenarnya merasa risih apabila difoto, aku lebih menikmati ketika menjadikan seseorang atau sesuatu sebagai objek memotret ku. Ada kepuasan tersendiri ketika “jepreet” dan gambar yang aku ambil terekam oleh lensa kamera.
Sesampainya di Malioboro aku mempersiapkan kamera ku, mengambil beberapa gambar yang menurutku pas, baik subjek maupun momentnya. Aku berjalan menyusuri jalan Malioboro yang ramai dengan aktifitasnya sambil memotret sana-sini. Aku berniat ingin berjalan-jalan sampai ke alun-alun kota. Ketika hampir sampai di Benteng Vredeburg, aku kembali mengangkat kameraku, melihat-lihat sesuatu yang bisa ku jadikan objek foto. Saat aku memfokuskan lensa kamera, aku melihat ada gadis berjilbab putih dengan motif bunga sedang memberikan uang kepada seorang pengemis yang sudah tua. “Jepret”. Akupun mengambil gambar ketika gadis itu memberikan sedekah kepada si pengemis. Sepertinya aku kenal gadis tersebut. Aku berjalan mendekati gadis berjilbab putih tersebut. Oh ternyata dia adalah Tiara.
“Tiara,” aku memanggil gadis berjilbab putih tersebut.
“Eh Mas Faris, mau kemana Mas?”
“Cuma jalan-jalan aja, sekalian foto-foto,” jawabku sambil mengangkat kamera DSLR yang ada di tanganku.
“Kalo Tiara mau kemana? Kok sendirian aja?”
“Nggak sendirian kok Mas, tadi sih kesini bareng sama Mbak Raisa, Mbak Ana, sama Mas Hasan juga. Tapi karena keasyikan liatin barang-barang, aku malah ketinggalan rombongan Mas. Yaudah akhirnya aku jalan-jalan sendiri,” jawab Tiara dengan wajah yang lugu. Aku pun hanya tertawa mendengar penjelasannya.
“Tiara”
Tiba-tiba seseorang memanggil Tiara. Ternyata itu adalah Raisa yang ditemani oleh Mbak Ana dan juga Hasan.
“Huh, dicariin kemana-mana, eh taunya malah asyik berduaan,” ujar Raisa sedikt kesal.
“Enggak kok Mbak, kebetulan aja kami ketemu disini.”
“Katanya mau istirahat, kok malah sampai sini?” tanya Hasan padaku.
“Istirahatnya kan udah tadi siang San. Nggak tau nih tiba-tiba aja kepengen jalan-jalan, mumpung suasananya cerah sekalian ngambil beberapa foto,” aku mencoba menjelaskan.
“Kami difoto juga boleh tuh, itung-itung buat kenang-kenangan,” Mbak Ana menimpali.
“Iyaa, boleh juga idenya Mbak. Amsol ya Mas fotoin kita-kita,” kata Raisa.
“Oh boleh, San sekalian kamu ikutan sana?”
“Kamu juga ikutlah Ris, masa aku cowok sendirian,” jawab Hasan.
“Aku kan yang ngambil foto San. Lagian aku juga nggak bawa tripod.”
“Iya, Mas Faris juga ikutan foto dong, minta tolong orang aja Mas buat fotoin kita,” kali ini Raisa yang meminta.
Akhirnya akupun menuruti keinginan mereka. Kami memutuskan untuk foto di depan Benteng Vredeburg. Aku meminta tolong pada seorang pria yang kebetulan sedang duduk-duduk di bangku yang terletak di halaman masuk Benteng Vredeburg. Aku berdiri di ujung paling kanan dan di sebelah kiri ku ada Hasan. Sedangkan ketiga gadis tadi berada di sebelah kiri kami. Raisa berada di tengah-tengah mereka, di sebelah kanan Raisa ada Tiara, sedangkan Mbak Ana berada di ujung paling kiri. Wah seperti yang kulihat sewaktu pertandingan bola tadi pikirku.
3..2..1…jepreet
“Satu kali lagi ya!” pria itu mengangkat telunjuknya sebagai aba-aba.
“Siap! 3…2…1…jepreet.”
Puas dengan acara foto-foto, aku akhirnya ikut bergabung dengan rombongan Hasan. Mereka memutuskan untuk mencari tempat makan. Berhubung aku juga belum makan akhirnya aku pun setuju dengan ajakan tersebut. Kami akhirnya memilih Spesial Sambal yang terletak di dekat UNY. Sambil menunggu pesanan, kami banyak mengobrol satu sama lain. Berdikusi mulai dari hal-hal yang sepele sampai hal-hal yang penting. Ujung-ujungnya kami malah membicarakan masalah pergaulan laki-laki perempuan, masalah jodoh, masalah cinta. Maklum kala itu kami masih remaja. Apalagi yang lebih mengasyikkan selain membahas tentang cinta? Entah darimana mulainya tiba-tiba Mbak Ana bertanya kepadaku.
“Ris, udah mau lulus, kapan kamu mau menikah?”
“Eh, bukannya Mbak dulu ya, biasanya cewek duluan kan. Aku nyantai aja Mbak, nunggu ada yang cocok,” jawabku sekenanya.
“Uhuk, berarti sekarang belum ada yang cocok ya Ris?” goda Hasan sambil sedikit melirik ke arah Raisa. Melihat tingkahnya aku paham apa yang ingin Hasan katakan, “Raisa”.
“Lagian sekarang aku juga belum kerja. Aku mau kerja dulu buat persiapan nikah juga,” jawabku tanpa menggubris pertanyaan Hasan.
“Mas Faris pernah nggak suka sama seseorang trus ngomong ke orangnya kalo Mas suka dia?” sekarang gantian Raisa yang bertanya. Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaan Raisa.
“Kalo suka sama seseorang jelas pernah lah, tapi kalo ngungkapin perasaan, jujur sampai sekarang aku belum pernah sekalipun ngomong suka atau cinta pada orang yang ku taksir. Sekarang gini aja deh, kalian sebagai cewek lebih suka cowok yang mana, cowok yang bilang aku suka sama kamu atau cowok yang bilang aku mau melamarmu.”
“Ya jelas cowok yang bilang mau melamar lah Mas. Tapi kan paling nggak kita tau satu sama lain dulu Mas, istilahnya ta’aruf, kalo merasa udah cocok satu sama lain baru deh menikah,” jawab Raisa.
“Tapi hati-hati lho Mbak, kadang kita tadinya niatnya mau ta’arufan eh ujung-ujungnya yang ada malah pelanggaran. Sering telpon-telponan, SMS-SMSan dll. Kalo cowok yang bilang suka belum tentu dia nantinya melamar kita lho Mbak. Beda dengan cowok yang bilang mau melamar, udah pasti dia punya rasa cinta sama kita Mbak. Nggak mungkin juga kan dia melamar kita kalo nggak ada rasa cinta. Kita kan bisa istikhoroh dulu Mbak sebelum menerima atau menolak lamaran tersebut. Sebenarnya nggak perlu juga ta’arufan buat tau dia tuh cowok baik apa nggak Mbak. Serahkan aja pada Alloh, Alloh pasti bakal memilihkan yang terbaik dan terbarokah. Pilihan Alloh nggak pernah salah kok. Yang penting Mbak yakin aja,” sahut Tiara panjang lebar.
“Benar juga ya. Pinter juga kamu Tiara,” kata Raisa dan sekarang dia tersenyum.
“Boleh saja kita jatuh cinta dengan seseorang. Tapi ingat, jangan sampai melewati batas. Bukankah islam telah mengajarkan tentang cinta. Jangan sampai cinta kita kepada seseorang mengalahkan cinta kita kepada Alloh, Sang Pemberi Cinta itu sendiri. Nggak usah sedih, patah hati, galau dsb gara-gara masalah cinta. Cukup dinikmati dan disyukuri aja,” Mbak Ana menambahi.
 “Meja nomor 14 ya,” kata seorang pelayan sambil meletakkan hidangan pesanan kami.
“Haaah,” aku menghela nafas panjang. Aku terselamatkan oleh penjelasan Tiara, Mbak Ana, dan juga hidangan sore itu.
***

Categories: , ,

Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( :-q =))