Auliya namanya. Orang-orang biasa
memanggilnya Liya. Auliya, dalam bahasa Arab berarti kekasih. Mungkin itu
adalah doa yang diberikan oleh kedua orang tuanya agar kelak Auliya benar-benar
bisa menjadi kekasih bagi siapapun. Dan ternyata benar adanya bahwa menamai
anak sejatinya adalah doa bagi anak itu sendiri. Auliya tumbuh menjadi gadis sederhana
nan cantik yang baik dan juga ramah. Menjadi “kekasih” semua orang. Kepada
siapapun dia tak segan menyapa dan melayangkan senyum. Termasuk saat pertama
kali berjumpa denganku.
Saat itu, kebetulan aku ditunjuk
menjadi kiriman dalam asrama Qiroatussab’ah (QS). Kala itu aku adalah seorang
remaja yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA dan Liya seorang murid kelas 3
SMP. Kami sama-sama menjadi kiriman dalam asrama tersebut. Aku mengetahui nama Liya
karena namanya sering disebut-sebut oleh kiriman yang lain, kaum adam tentunya.
Hanya sebatas tahu nama dan belum mengenalnya, bahkan aku belum pernah bertatap
muka dengannya.
Aku melihat sosok Liya ketika
istirahat siang, tepatnya ketika akan mengambil makan siang. Kami (para
kiriman) memasak sendiri untuk sarapan, makan siang, dan makan malam. Mujhid muzhid dan juga menumbuhkan rasa
kekeluargaan diantara kami. Saat itulah aku melihat wajah Liya juga senyumnya.
Memang cantik, pikirku, pantas banyak orang membicarakannya.
Sehari, dua hari, tiga hari aku
semakin akrab dengan Liya. Bukan karena apa-apa, tapi karena sifat dasar Liya
yang orang jawa menyebutnya grapyak
sehingga kami akrab. Meskipun masih kelas 3 SMP tapi dia perempuan yang dewasa,
maksudku sifat maupun sikapnya. Berbeda dengan perempuan seusianya yang pernah
aku jumpai. Kebanyakan perempuan seusia Liya masih labil-labilnya, belum matang
untuk memikul sebuah tanggung jawab. Tapi Liya berbeda, buktinya dia diberi
amanah untuk menjadi kiriman asrama QS yang nantinya harus menyampaikan (mengajar)
di kelompoknya. Mungkin karena dia memang anak yang cerdas, di sisi lain dia
juga gadis yang semangat.
Liya, dia gadis yang ceria. Dia
senang sekali bercerita dan aku dengan senang hati akan mendengarkan ocehannya.
Di sela-sela istirahat, dia sempatkan membuka buku pelajaran, oh ya sepertinya
waktu itu Liya sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian masuk SMA. Kalau
sudah bosan dengan buku pelajaran, terkadang dia beralih ke komik. Hahaha,
sedewasa apapun Liya, ternyata dia masih punya jiwa seorang anak SMP, wajar.
Setiap pagi sebelum asrama
dimulai, kami (para kiriman) amal sholih
membersihkan ruang kelas, pergi ke pasar kemudian dilanjutkan dengan masak
bersama. Biarpun kami laki-laki, tapi kami tetap ikut andil dalam
masak-memasak. Entah itu belanja ke pasar ataupun sekadar membersihkan sayur
yang akan di masak. Dan ternyata Liya juga pintar memasak. Tentunya Liya tidak
memasak sendiri, tapi setidaknya dia tahu cara memasak sayur sop, lodeh, bayam serta
bumbu-bumbu yang harus diracik. Dia juga bisa menggoreng gereh layur mirip buatan Ibu, krispi dan renyah, dan itu adalah
kesukaanku.
Liya, dia gadis desa yang
sederhana. Dia bukanlah anak orang kaya. Seperti orang desa pada umumnya, orang
tua Liya berkerja sebagai petani. Dia sudah diajarkan hidup mandiri sedari
kecil. Memasak, mengurus rumah, merawat adik-adiknya, semua dia pelajari dari
Ibunya. Dan tentu saja ketekunan, kerja keras maupun semangatnya dia pelajari
dari Bapaknya. Pantas saja Liya tumbuh menjadi gadis yang luar biasa hebatnya.
Mungkin itu semua karena dia pernah merasakan rekasane urip. Kurang
lebih begitulah yang aku dengar dari salah seorang teman asrama, yang kebetulan
mubaligh di kelompok Liya tinggal.
Liya, dia gadis desa yang
sederhana, baik dan ramah sikapnya, cantik parasnya. Aku berpikir, mungkin
kelak kau akan menjadi bunga desa,
bukan, bunga daerah bahkan (nulis
sambil senyum). Semoga laki-laki yang meminangmu sama baiknya denganmu,
laki-laki yang mencintaimu karena kebaikanmu bukan karena kecantikanmu. Hampir
4 tahun kita tak pernah jumpa kembali. Aku ingat terakhir kali kita berjumpa, di
bulan Romadhon ba’da ashar selepas mengikuti asrama Romadhon. Ah, lagi-lagi
asrama. Sungguh kebetulan. Saat itu kau masih mengenakan seragam putih abu-abu dan
sedang memakai sepatumu di beranda Masjid Al-Iman. Masjid dimana pertama kali
aku mengenalmu dulu. Kabar terakhir yang aku dengar, kau sekarang mondok di Kediri atau Lengkong, maaf,
aku lupa yang mana. Disana kau juga dikenal baik dan ramah, begitu kata MT yang
juga mengenalmu disana. Baik dan ramah, hahaha..bukankah itu memang sifat
dasarmu ya? Aku tersenyum. Semoga dimanapun engkau berada, Alloh selalu
memberikan kebahagiaan, kebaikan, serta kebarokahan untukmu. J
Tertanda,
Sahabatmu.
Posting Komentar